Lailatul Qadr Menurut Dua Pemikir Tasawuf Berbeda Zaman.
Lailatul qadr adalah malam istimewa, malam keutamaan. Keutamaan itu,
menurut Nasaruddin Umar, pengajar IAIN Jakarta, berupa vibrasi (getaran)
spiritual.
Lail adalah malam. Perspektif tawasuf memandangnya sebagai sisi
feminin. Lawan katanya nahr, siang, sebagai sisi maskulin. Lailatul qadr
menonjolkan nuansa feminin dalam arti nurturing: kelembutan,
kehangatan, kemesraan, pengayoman. Lawannya struggle: perebutan,
keangkuhan, penguasaan, ketegaran.
Lailatul qadr memancarkan pesan agar hamba Allah menciptakan kualitas
feminin dalam dirinya, yakni membangun rasa kasih. “Jalur tercepat
menjumpai Allah adalah jalur feminin. Makanya disebutkan dalam hadis
Nabi, `Al-jannatu tahta aqdamil ummahat, surga itu di bawah telapak kaki
ibu,” kata Nasaruddin.
Ibu dalam nash (teks) tersebut bermakna kualitas feminin, yang bisa
pula dicapai kaum laki-laki. Yakni mencapai kecerdasan spiritual yang
sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual jauh
lebih dahsyat.
Kalau kita salat dengan mengandalkan logika, yang teringat bukan
Tuhan. Mungkin nostalgia, proposal yang kita susun, atau munculnya
ide-ide segar. Padahal dalam ibadah khusus, yaitu salat yang cuma
beberapa menit itu, kita dituntut benar-benar ingat Tuhan. Dengan
kecerdasan spiritual orang bisa menangis saat teringat Tuhan, dan
merasakan keindahan tersendiri di dalam batinnya. “Dengan begitu,
salatnya punya bekas,” kata Nasaruddin.
Lalu, apa kaitan kecerdasan spiritual dengan lailatul qadr?
“Lailatul qadr itu password atau entry point mencontoh sifat-sifat
Tuhan,” ujarnya. Sayangnya, orang menyambut lailatul qadr dengan
hiruk-pikuk dan berbau mitos. “Lailatul qadr jangan dimitoskan. Ada yang
menunggu air membeku, kalau sudah dilihatnya air membeku, saat itulah
ia berdoa. Bukan itu yang dimaksud malam kemuliaan.” Lailatul qadr
jangan diukur dimensi waktu di bumi. Sebab, malam di sini berarti masih
siang di tempat lain. Begitu juga sebaliknya, malam di sana, siang di
sini.
Lailatul qadr itu simbol, bukan fakta. Kalau memang fakta, ukuran
malamnya ukuran mana, malam di Arab Saudi atau di Indonesia? Pahami
lailatul qadr sebagai suasana batin feminin: indah, lembut, penuh
kepasrahan, dan kehangatan terhadap Tuhan.
Sampai di sini Nasaruddin bertemu dengan Hamka, penulis buku Tasawuf
Modern, bahwa inti lailatul qadr adalah pencerahan. Bagi Hamka, yang
dimaksud lailatul qadr adalah seperti masuk Islamnya Umar ibn Khattab,
tatkala membaca lembaran mushaf yang direbutnya paksa dari adiknya,
“Thaha! Tidaklah Kami turunkan kepada engkau Al-Quran supaya engkau
sengsara. Melainkan peringatan bagi orang yang takut. Diturunkan oleh
yang menjadikan bumi dan langit yang tinggi. Yaitu Yang Mahamurah, yang
bersemayam di Arasy (ayat 1 sampai 5).
Umar membacanya dua tiga kali, diulang-ulangnya. Ayat itu merasuk ke
kalbunya, lalu datang suasana batin yang mengubah arah hidupnya. “Di
mana Muhammad. Bawa aku kepadanya.” Dan Umar pun masuk Islam. “Itulah
saat kemuliaan yang melebihi 1.000 bulan,” tulis Hamka.
Atau tatkala seorang pemuda merayap-rayap pada malam hari, mencari
perempuan untuk diajaknya bermaksiat. Tiba-tiba dari satu rumah
berlentera terang terdengar suara merdu. Segera tahu si pemuda, di
situlah berdiam perempuan rupawan tak bersuami. Dia masuk, lantas
tertegun-tegun memandangi paras rupawan sang perempuan yang ternyata
sedang membaca Al-Quran. Makin tertegun dia tatkala telinganya mendengar
suara perempuan itu sampai pada bacaan: Alam ya’ni lilladziina
`aamanuu, an takhsya’a quluubuhum lidzikrillahi wamaa nazala minal
haqqi, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman buat
tunduk hati mereka mengingat Allah dan kebenaran yang telah Dia
turunkan?” (Al-Hadid:36).
Si pemuda merasa ayat itu seakan-akan dipukulkan kepadanya.
Bergetarlah dia merasakan ada iman di lubuk jiwanya, yang selama ini
telah diselubungi hawa nafsu. Ambruklah saat itu jua segala syahwat, ia
meluncur turun, lari menuju masjid menegakkan salat. Sejak itu berubah
hidupnya, menjadi manusia saleh. Pemuda itu tak lain Fudhail ibn Ayyadh.
“Malam tatkala dia mendengar ayat Quran, lalu tergetar hatinya dan
berubahlah perilakunya, itulah lailatul qadr.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar