Lama aku menjalani hidup dengan jalan lupa..
Ampuni aku karena aku tidak melihat dalam Islam ada agama, mazhab,
aliran, partai atau negara.. Aku tidak ingat pada Islam Sunny, Syiah,
politis, salafi, dan sufi. Aku hanya mampu melihat bahwa Islam adalah
kesadaran ontologis yang melampaui berbagai agama, budaya dan peradaban.
Islam adalah kesadaran terbuka yang menghampar di atas cakrawala yang
sangat tinggi. Atau, dalam istilah yang lain, Islam adalah agama
fitrah.
Setelah mengalami keraguan sekian lama, akhirnya aku putuskan untuk
menulis sepucuk surat untuk-Mu, wahai Tuhan. Aku tidak tahu apakah
Engkau akan membacanya seperti harapanku. Atau, Engkau sedang sibuk
mengurus alam raya yang jauh lebih penting daripada urusan manusia.
Meski demikian, aku yakin Engkau akan memberikan sedikit perhatian
kepada kami. Oleh karenanya aku tetap menuliskan surat untuk-Mu tentang
hubungan yang menyatukan aku dan Engkau. Mudah-mudahan surat ini
memberikan manfaat bagiku pada hari kebangkitan. Semoga para pembaca
bersedia memberikan kesaksian baik pada hari di mana aku berdiri
sendirian menghadapi pengadilan ukhrawi.
Engkaulah Zat yang tidak membutuhkan ruang dan waktu…
Mungkin Engkau ingat pada hari di mana aku terdorong oleh intuisi untuk berjuang mendapatkan ijazah dari bangku kuliah sambil menanggalkan ambisi akademis agar aku dapat segera bekerja di wilayah terpencil di sebuah negara yang bernama Maroko. Aku tidak tahu apakah negara ini penting bagi-Mu, tapi negara ini sangat penting bagiku.
Mungkin Engkau ingat pada hari di mana aku terdorong oleh intuisi untuk berjuang mendapatkan ijazah dari bangku kuliah sambil menanggalkan ambisi akademis agar aku dapat segera bekerja di wilayah terpencil di sebuah negara yang bernama Maroko. Aku tidak tahu apakah negara ini penting bagi-Mu, tapi negara ini sangat penting bagiku.
Perjalanan itu menuntut aku untuk menempuh jarak yang jauh dan
mewujudkan tujuan yang sangat penting bagi-Mu dan bagi hubungan aku
dengan-Mu. Aku memaksakan diri untuk meminjam sejumlah uang dari sebuah
bank yang kemudian harus aku cicil sedemikian berat selama
bertahun-tahun. Dengan uang itu aku mendapatkan kitab suci,
berjilid-jilid buku agama, sejarah, tafsir, fatwa, serta buku fikih dari
mazhab Sunny, Syiah dan Ibadhiyah. Aku tidak ingat berat turats
(khazanah) agama ini. Yang aku ingat, aku membutuhkan kendaraan khusus
untuk mengangkut semua itu setiap kali aku pindah tempat. Soal berpindah
tempat ini, aku punya satu cerita yang aku simpan sejak lama.
Obsesiku yang paling kuat adalah kesuksesan setelah bertahun-tahun
menjalani hidup asketis dan meninggalkan kehidupan duniawi dalam
menyelesaikan masalah wujud-Mu dan masalah janji-janji-Mu: positif atau
negatif. Aku tidak berharap mendengar suara-Mu yang datang tiba-tiba
pada dini hari menjelang subuh. Aku juga tidak berharap Engkau
mengirimkan tanda-tanda-Mu melalui mimpi atau dalam keadaan setengah
terjaga. Aku adalah anak peradaban “teologi tanzĂ®h (penyucian)” yang
melihat jalan-jalan menuju Engkau hanya ada dalam “teks-teks”. Aku
tidak ingin beriman seperti iman yang tergambarkan dalam doa Imam
Ghazali, “Ya Allah, berikanlah aku iman orang-orang yang lemah”. Aku
tidak puas dengan “taruhan” Pascal (filsuf Perancis [1623-1662], penj.)
ketika ia menyatakan bahwa iman agama adalah taruhan yang tidak akan
merugikan. Aku hanya menginginkan keyakinan rasional seorang pemuda yang
tidak ingin mati dalam keadaan bodoh. Aku siap menerima segala sesuatu
yang diterima oleh akal dan kehendak yang bebas dan mandiri.
Tidak ada yang aku takuti kecuali keraguan seperti yang dialami oleh
para filsuf dan politisi ketika mereka menghadapi kematian. Aku tidak
ingin menjadi orang yang tidak mampu mengambil keputusan dalam kondisi
seperti itu.
Aku berusaha mendekati-Mu dengan berjalan kaki di atas
kerikil-kerikil panas. Dalam seluk-beluk teks-teks aku mencari jalan
yang dapat mengantarkan aku kepada-Mu. Aku mencari keyakinan yang
menentramkan jiwa; keyakinan yang dicari oleh banyak orang sejak manusia
diciptakan. Aku tidak ingin menemui-Mu dengan membawa iman orang-orang
lemah atau taruhan Pascal. Sekadar tidak ingin mati dalam keadaan bodoh,
apakah aku harus menerima penderitaan dan harus menjadi korban?
Engkau, Zat yang tidak di sini dan tidak pula di sana…
Engkau melihat dengan jiwa-Mu sendiri bagaimana aku menghabiskan masa mudaku untuk mencari jalan menuju kebenaran ontologis di dalam berton-ton kertas. Di atas kebenaran ontologis itulah aku akan menjalani hidup, bertemu dengan-Mu, atau bahkan tidak bertemu dengan-Mu.
Engkau melihat dengan jiwa-Mu sendiri bagaimana aku menghabiskan masa mudaku untuk mencari jalan menuju kebenaran ontologis di dalam berton-ton kertas. Di atas kebenaran ontologis itulah aku akan menjalani hidup, bertemu dengan-Mu, atau bahkan tidak bertemu dengan-Mu.
Itulah hari-hariku…
Wahai Tuhanku, aku selalu ingat akan hari-hari di mana aku mengembara di antara tumpukan buku. Sebagian halaman buku-buku itu aku biarkan terbuka berhari-hari. Aku membandingkan antara apa yang ada dalam satu buku dan buku lainnya, baik wahyu, biografi, sejarah atau fikih. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menggali dan mencari asal-usul ritual, thawaf, rajam, sujud, bahkan nama-nama, sifat-sifat dan tugas-tugas-Mu.
Wahai Tuhanku, aku selalu ingat akan hari-hari di mana aku mengembara di antara tumpukan buku. Sebagian halaman buku-buku itu aku biarkan terbuka berhari-hari. Aku membandingkan antara apa yang ada dalam satu buku dan buku lainnya, baik wahyu, biografi, sejarah atau fikih. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menggali dan mencari asal-usul ritual, thawaf, rajam, sujud, bahkan nama-nama, sifat-sifat dan tugas-tugas-Mu.
Aku tidak pernah memimpikan masa depan kehidupan yang bertentangan
dengan arah hembusan angin. Mungkin aku kehilangan sesuatu dalam
pikiranku, tapi Engkau tahu bahwa ketulusan berbeda dengan kegilaan.
Bertahun-tahun aku bersahabat dengan manusia yang Kau jadikan sebagai
Rasul terbaik bagi kami. Aku mendampinginya dalam perang, shalat,
pergi dan kerinduan. Aku mengakui, di hadapan keluasan ilmu-Mu, bahwa
aku tidak pernah bimbang untuk mengintai kesendirian dan kehangatan sang
Rasul. Aku minta maaf bahwa saat itu aku seperti anak kecil yang
bersembunyi di bawah tempat tidur orangtuanya sambil mengintip satu
peristiwa yang mendorongnya menjadi wujud.
Aku merasa resah karena berbagai sikap, tindakan dan reaksi yang
tidak sesuai dengan maqam keadilan dan kebijaksanaan seperti maqam-Mu.
Akan tetapi aku mohon maaf dan merendahkan diri; aku berlindung
kepada-Mu dan berusaha mencari dalih takwil dan tafsir yang aku temukan.
Obsesiku sangat tulus bahwa aku harus mengusir keraguan dengan
keyakinan. Aku berpikir bahwa Kau, wahai Zat yang mahatinggi, tidak akan
menghalangi aku untuk mengakui kenyataan: aku ragu pada agama-agama-Mu.
Bagaimana mungkin Kau halangi aku, sedang Kau telah mempersilakan Nabi
Ibrahim meminta bukti empiris dari-Mu untuk menentramkan jiwanya dalam
yakin?
Aku merasa resah akan berbagai keputusan-Mu yang tidak sanggup aku
mengerti dan tidak dapat aku pahami. Aku merendahkan diri kemudian
memohon perlindungan-Mu.
Biarkan aku berterus terang pada-Mu bahwa keputusan-Mu atas cerainya
Zainab bint Jahsyin dan nikahnya dengan Nabi Muhammad sangat meresahkan
jiwaku. Hatiku sangat pilu ketika aku melihat dalam sepuluh sahabat yang
Kau kabarkan akan masuk surga, tidak satu pun dari mereka orang miskin
dan orang lemah. Apakah keagungan-Mu lupa pada Bilal al-Habsy, orang
pertama yang mengumandangkan azan dengan nama-Mu? Apakah kemuliaan-Mu
lupa pada Salman al-Farisi, orang yang datang dari ujung dunia untuk
mendukung perjuangan Rasul-Mu? Apakah kasih-Mu lupa pada Abu Dzar
al-Ghifari, penghulu orang-orang lemah di muka bumi? Sungguh aku resah
ketika aku lihat sebagian besar dari orang-orang yang dikabarkan akan
masuk surga adalah orang-orang terkaya. Keresahanku semakin dalam ketika
tidak satu perempuan pun masuk dalam jajaran sepuluh orang yang
dikabarkan akan masuk surga.
Sangat sulit bagiku untuk menghilangkan keresahanku berhadapan dengan
kenyataan seperti itu. Meski demikian, aku berusaha menenangkan diri
sambil mengatakan, “mungkin ada kesalahan di tempat tertentu dan hanya
Engkau yang mengetahuinya”.
Akan tetapi aku sama sekali tidak mampu mencari alasan untuk
menghilangkan keresahanku karena melihat orang-orang perdana yang
beriman pada-Mu tidak hanya membagi-bagikan harta rampasan perang, tapi
mereka juga membagi-bagikan tawanan perang perempuan. Mereka menganggap
tawanan perempuan termasuk bagian dari harta rampasan perang. Inilah
yang aku tidak sanggup mencari alasan pembenarannya.
Sebagian orang mungkin berkata, “Pada masa itu, semua orang melakukannya”.
Aku tetap tidak mampu menyembunyikan kenyataan yang aku simpan dalam
hatiku: itu bukan alasan orang yang mencari kemuliaan, tapi alasan orang
yang rendah diri.
Benar, wahai Tuhanku, orang lain memang melakukan hal itu dan tetap
melakukannya. Akan tetapi, risalah-Mu tidak mungkin memerintahkan kami
melakukan tindakan yang dilakukan orang lain.
Engkau tahu bahwa aku tidak berlebihan dalam menakwil kitab suci dan
aku tetap mencari alasan yang dapat menghapus keraguan serta
mengehentikan pertanyaan. Akan tetapi aku tidak mampu memuaskan jiwa
dengan memalingkan pandangan dari sumber keresahan.
Aku sangat suka pada jawaban Sa’ad ibn Ubadah ketika ditanya, “Semua
orang telah membaiat Abu Bakar, mengapa engkau tidak membaiatnya?”
Sa’ad menjawab dengan tegas dan penuh tanggungjawab, “Demi Allah. Andai semua jin dan manusia sepakat membaiatnya, aku tidak akan membaiatnya sampai aku bertemu dengan Allah dan melihat hisabku!”
Sa’ad menjawab dengan tegas dan penuh tanggungjawab, “Demi Allah. Andai semua jin dan manusia sepakat membaiatnya, aku tidak akan membaiatnya sampai aku bertemu dengan Allah dan melihat hisabku!”
Wahai Tuhan yang mahaagung dan mahakaya…
Mungkin Kau ingat suatu hari ketika aku pulang ke rumah dan perpustakaan pribadiku dibobol dan dicuri. Aku kehilangan semua buku yang ada. Aku sangat sedih dan sangat menyesali. Pada hari berikutnya, seorang kawan berkata kepadaku, “Inilah kesempatan bagimu. Tradisi berpikir adalah sesuatu yang tetap ada setelah kita lupa akan segala sesuatu. Apa yang kau risaukan lagi, sedang semuanya telah hilang darimu?”
Kata-katanya masuk ke dalam jiwaku bagaikan salju yang menyejukkan. Aku katakan padanya, “Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menjalani hidup dengan jalan lupa”. Jalan lupa? Jalan ini akan membawaku ke mana?
Mungkin Kau ingat suatu hari ketika aku pulang ke rumah dan perpustakaan pribadiku dibobol dan dicuri. Aku kehilangan semua buku yang ada. Aku sangat sedih dan sangat menyesali. Pada hari berikutnya, seorang kawan berkata kepadaku, “Inilah kesempatan bagimu. Tradisi berpikir adalah sesuatu yang tetap ada setelah kita lupa akan segala sesuatu. Apa yang kau risaukan lagi, sedang semuanya telah hilang darimu?”
Kata-katanya masuk ke dalam jiwaku bagaikan salju yang menyejukkan. Aku katakan padanya, “Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menjalani hidup dengan jalan lupa”. Jalan lupa? Jalan ini akan membawaku ke mana?
Aku kehilangan semua buku: buku klasik, buku agama, buku fikih, buku
sejarah, bahkan Injil dan al-Quran. Apa yang mungkin selamat dari
kehilangan dan kelupaan?
Wahai Tuhan yang tidak menyiksa kami karena kelupaan…
Lama aku menjalani hidup dengan jalan lupa. Ampuni aku karena aku tidak melihat dalam Islam ada agama, mazhab, aliran, partai atau negara. Aku tidak ingat pada Islam Sunny, Syiah, politis, salafi, dan sufi. Aku hanya mampu melihat bahwa Islam adalah kesadaran ontologis yang melampaui berbagai agama, budaya dan peradaban. Islam adalah kesadaran terbuka yang menghampar di atas cakrawala yang sangat tinggi. Atau, dalam istilah yang lain, Islam adalah agama fitrah.
Lama aku menjalani hidup dengan jalan lupa. Ampuni aku karena aku tidak melihat dalam Islam ada agama, mazhab, aliran, partai atau negara. Aku tidak ingat pada Islam Sunny, Syiah, politis, salafi, dan sufi. Aku hanya mampu melihat bahwa Islam adalah kesadaran ontologis yang melampaui berbagai agama, budaya dan peradaban. Islam adalah kesadaran terbuka yang menghampar di atas cakrawala yang sangat tinggi. Atau, dalam istilah yang lain, Islam adalah agama fitrah.
Wahai Tuhan yang hadir tanpa kondisi apa pun…
Di hadapan-Mu aku paparkan pandanganku terhadap risalah-Mu sebagaimana aku melihatnya. Semoga kesaksian ini menyelamatkan aku dari pertanyaan pada hari perhitungan:
Di hadapan-Mu aku paparkan pandanganku terhadap risalah-Mu sebagaimana aku melihatnya. Semoga kesaksian ini menyelamatkan aku dari pertanyaan pada hari perhitungan:
Aku bersaksi bahwa semua agama sama. Tidak ada satu agama pun yang
lebih istimewa di atas agama lain. Semua agama mengandung kebenaran atau
semua agama dalam kesesatan sebagaimana firman-Mu, “Sungguh kami atau
kalian yang pasti berada dalam petunjuk atau kesesatan yang nyata”
(Saba’: 24).
Aku bersaksi bahwa seorang muslim tidak harus terikat oleh ajaran dan
tradisi tertentu. Seorang muslim tidak harus terkungkung oleh bentuk
keberagamaan khusus. Seorang muslim hanya berafiliasi pada pengalaman
spiritual yang melampaui seluruh agama dan tradisi tauhid, sesuai dengan
firman-Mu, “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan
kami pasrah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136).
Aku bersaksi bahwa kaum muslim tidak akan menjadi islamis, pengikut
al-Quran atau pengikut ajaran Muhammad selama mereka menjalin hubungan
langsung dengan-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah kalian
manusia-manusia yang mengabdi kepada Tuhan.” (Ali Imran: 79).
Aku bersaksi bahwa al-Quran bukan kitab politik, bukan kitab
pembangunan dan bukan kitab pendidikan. Al-Quran bukan kitab
undang-undang dan hukum. Al-Quran adalah kitab yang dijadikan sebagai
sarana beribadah kepada-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah
kalian sebagai pengabdi pada Tuhan karena kalian telah mengajarkan kitab
dan karena kalian mempelajarinya.” (Ali Imran: 79).
Aku bersaksi bahwa hukum murtad, ahli dzimmah dan semua hukum fikih
telah digantikan oleh undang-undang positif dan piagam hak asasi manusia
(HAM), sebagaimana firman-Mu, “Itulah umat yang telah berlalu. Mereka
mendapatkan apa yang mereka usahakan dan kalian mendapatkan apa yang
kalian usahakan. Kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban atas apa
yang telah mereka lakukan.” (Al-Baqarah: 134).
Inilah kesaksianku, inilah imanku, inilah pedomanku sampai aku menghadapi hisabku nanti.